Thursday 17 February 2011

4 Adegan Sinetronis 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta

APA seting paling cocok untuk mendukung adegan seorang anak minggat dari rumah setelah bertengkar dengan ayahnya? Jawabnya; hujan badai! Dramatis, tapi klasik, bahkan gombal! Itulah yang dilakukan sutradara Beni Setiawan dalam 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Agak janggal karena pada adegan-adegan sebelumnya udara digambarkan sangat cerah. Bahkan, dua lakon utama film ini, Rasyid dan Delia sempat jalan-jalan memutari Jakarta pada malam hari dengan vespa. Cuaca baik-baik saja.

Citra - Reza Rahadian dan Laura Basuki mendulang piala citra FFI 2010.





Seting demkian saya sebut gombal karena sudah sejak awal digunakan. Sutradara tdak mampu memunculkan kesan dramatis dalam batin pelakunya sehngga mengambil jalan pintas “meminta bantuan” badai. Jalan pintas itu sering dmanfaatkan sutradara sinetron yang malas membuat alur yang logis. Karena itu, saya menyebut adegan yang dikapsakan sebagai adegan sinetronis.

Adegan Rasyid minggat ternyata hanya salah satu adegan sinetronis dalam film yang meraih 7 piala citra itu. Mari kita saksikan adegan sekolompk remaja aktivis yang agaknya ngin dgambarkan sebagai kelompok pemuda kritis. Salah satu pemuda itu, yang hanya figuran, mengatakan, “kalian tahu ndak , negara ini sudah dikuasia kaum neloib? Sebenarnya kta sudah dikuasai oleh kekuatan kapitalisme global yang mendukung perdagangan bebas, jad otomatis industr-ndustri lokal pada bertumbangan.”

Tuturan itu, tampaknya menggambarkan intelektualitas. Tapi, itu kalimat tu justru membuktkan mereka sebanarnya hanya sok kritis. Sutradara gagal membangun citraan bahwa kelompok pemuda ini sebaga intelektual. Apa pasa? Untuk ukuran pemuda seusia mereka, kalimat itu naif, normatif, dan bebal. Jika ingin membangun karakter sebagai kelompk intelrktual, mereka mestinya sudah tidak bicarakan neoliberalisme. Tapi, katakanlah mereka mengkritisi kebijakan pemerintah dengan mengemukakan yang rasional. Kalimat di atas sama sekali tidak mengantarkan tokoh pada karakter yang dikhendaki; intelektual, cerdas.

Adegan “pintas” semacam ini dtempuh sutradara karena tidak mampu membangun alur melalu simbol. Seolah-olah seluruh keadaan tokoh baik diverbalkan. Celakanya, sebagaimana bahasa verbal lain, kebenarannya cenderung berisi klaim. Memaksa! Penonton tidak diberi kesempatan menerjemahkan sendiri kekuatan karakter tokoh bersangkutan. Apakah ia cerdas, kritis, intelek, atau sekadar bisa mengucapkan kalmat yang mengesankan itu?

Dalam sinetron, kita sering menjumpai tokoh yang membatin. Ia tidak mengucapkan apapun tapi mengeluarkan pernyataan (voce of voiceless). Penonton dimanjakan oleh sutradara tanpa diberi kekuasaan memaknai ekspresi tokoh. Misalnya, untuk membangun seting bahwa tokoh sedang mengkhawatirkan kekasihnya, sangat berlebih jika tokoh itu membatin; aku sangat mengkhawatirkannya, jaga dia ya Tuhan. Akan lebih baik tokoh itu menunjukkan ekspresi, gerak, atau mimik yang menunjukkan kondisi itu.

Hal hampir sama dilakukan sutradara saat adegan Rosyid berdebat dengan seorang habib. Di sana, sang habib sedang mengisi pengajian. Ada beberapa santri, yang mengenakan koko dan peci puith, mendengar taklid. Ketika sang habib menyarankan Rosyid mengenakan peci putih, remaja berambut kribo seukuran Edi Brokoli itu mendebat. “Kalau kita hanya mengikuti leluhur, kita sama saja dengan orang primitif dong. Kita hanya ikut apa kata nenek moyang,” katanya. Salah satu santri terpancng emosinya, bangkit sambil berujar, “Sesat ni orang!”

Ekspresi itu tentu wajar. Santri “ekstrim” merasa tidak rela aiajaran yang diyakininya didebat. Tapi, karena sutradara tidak menampilkan back ground santri itu, adegan menjadi terkesan lucu. Termat janggal karena santri yang emosional punya ustadz yang dicitrakan sabar dan bijak meski terkesan kolot.

Ada satu lagi adegan sinetronis yang sangat mengganggu. Kali ini bahkan parah karena mengabaikan logika.

Ketika Rosyid ngobrol dengan Delia di pinggir danau cuaca cerah. Ada pantulan warna kuning pada air danau yang menunjukkan kondisi itu. Pengendara sepeda motor di belakang mereka juga tampak santai. Mereka tida negbut mesk tidak hujan. Seingkatnya, cuaca saat tu cerah. Tapi ketika mereka akan berciuman, tba-tiba hujan deras turun. Lebih aneh lagi karena pola persebaran hujan itu menyebar, berawal dari titik tempat mereka berdiri baru kemudian menyebar lebih luas. Sutradara memaksa “tuhan” memusatkan perhatian pada dua pemuda yang dimabuk cinta ini.

Meski demikian, pada beberapa adegan film ini mampu menunjukkan adegan yang mengesankan. Aktng abah Rsoyid sangat baik. Ia memerankan lelaki keturunan Arab-Betawi yang kolot lahir batin. Selain gaya bicaranya cucok dengan karakter ini, tangis dan tawanya sangat natural. Tentu saja ini kesuksesan tim casting. Tokoh Mansyur dmainkan orang yang tepat.

Satu lagi adegan yang mengesankan. Rosyid duduk di atas panggung sendiri setelah ia membaca puisi. Tampaknya sedang mereview perjalanan hdupnya. Datang Delia dari belakang. Setelah berbncang tak begitu lama, Delia mengajak Rosyid menarkan Rafin, taran khas Arab. Selain hendak menyampikan akulturisasi, sutradara berhasil membangun adegan yang dramatis dengan pendekatan teatrkal.

Sutradara juga tidak memaksakan cerita ini berakhir membahagiakan dengan membiarkan keduanya berpisah dengan keyakinan masing-masing. Pesan yang saya baca bukan soal pluraitas lagi, tapi soal bagimana seseorang mengambil keputusan secara bijak. Bukan didasari keinginan dan pengetahuan dangkal, tapi proses berfikir panjang dengan berbagai pertimbangan. Cara ini yang oleh dosen saya S Suharanto (alm) sebut etika.

No comments:

Post a Comment